Ibnu Tabban Al-Maghribiy si Kutu Buku dan Pencinta Ilmu




[Kisah]

Mengumpulkan Semangat Jiwa dalam Menuntut Ilmu
dari Kisah Hidup Ibnu Tabban si Kutu Buku dan Pencinta Ilmu

Penulis :
Ummu Salim Khodijah bintu Zuhair Al-Makassariyyah


Meraih ilmu membutuhkan kesungguhan dari seorang pencari ilmu. Karena, ilmu agama itu tidak dapat diraih dengan bersantai-santai.

Puncak keilmuan tidak dapat dicapai dengan baik, kecuali dengan pengorbanan, baik itu berupa harta, waktu, maupun kesenangan.

Ilmu itu sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Abu Yusuf –rahimahullah-,                                                                                                                     
الْعِلْمُ شَيْءٌ لَا يُعْطِيكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
"Ilmu adalah sesuatu yang tidak akan memberikan setengahnya untukmu sampai engkau memberikan seluruh dirimu padanya."
[Lihat Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rowi wa Adab As-Sami’ (2/174) (no. 1523), karya Al-Khothib Al-Bagdadiy]

Karenanya, penuntut ilmu membutuhkan tekad yang kuat dan jiwa yang kokoh dalam memulai perjalanan dalam menuntut ilmu.

Hal tersebut bisa didapatkan dengan membaca kisah ulama terdahulu dalam menuntut ilmu. Di dalam kisah hidup mereka, terdapat banyak teladan dan motivasi bagi kita dalam menuntut ilmu. 

Sebab, mereka benar-benar ikhlash, bersabar, dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, sekalipun harus melalui segala macam rintangan dan cobaan di dalamnya.

Kesusahan dan kemiskinan hidup yang seringkali menjadi kendala bagi sebagian orang dalam mencari ilmu. Namun semua itu bukanlah sesuatu yang berarti bagi mereka. Semua itu mereka anggap sebagai garam yang menjadi penyedap dalam perjalanan mereka dalam menuntut ilmu.

Para pembaca yang budiman, di antara kisah para ulama terdahulu yang amat pantas kita nukilkan pada momen kali ini adalah kisah seorang ulama yang bernama Abu Muhammad Abdullah bin Ishaq Al-Maghribiy (wafat 371 H) yang dikenal dengan “Ibnu Tabban” -rahimahullah-.

Ibnu Tabban -rahimahullah- berkata ketika menceritakan tentang dirinya,
"كُنْتُ أَوَّلَ ابْتِدَائِيْ أَدْرُسُ الليلَّ كُلَّهُ، فَكَانَتْ أُمِّيْ تَنْهَانِيْ عَنِ الْقِرَاءَةِ بِاللَّيْلِ. فَكُنْتُ آخُذُ الْمِصْبَاحَ فَأَجْعَلُهُ تَحْتَ الْجَفْنَةَ، وَأَتَعَمَّدُ النَّوْمَ، فَإِذَا رَقَدْتُ أَخْرَجْتُ الْمِصْبَاحَ، وَأَقْبَلْتُ عَلَى الدَّرْسَ".
"Dahulu awal kali aku memulai belajar, saya belajar semalaman penuh hingga ibuku merasa iba kepadaku dan melarangku belajar di waktu malam. Lantaran itu, aku pun mengambil lentera dan meletakkannya di bawah al-jafnah (mangkuk besar) dan pura-pura tidur. Kemudian apabila semua orang telah tidur, aku mengeluarkan pelita itu dan menghadap (konsentrasi) kepada pelajaran."

Kisah beliau ini dituliskan Al-Qadhi ‘Iyadh Al-Yahshobiy -rahimahullah- oleh dalam sebuah kitabnya yang berjudul “Tartibul Madaarik wa Taqrib Al-Masalik” (6/249).

Al-Qadhi ‘Iyadh -rahimahullah- berkata tentang Ibnu Tabban,
"Beliau adalah orang yang banyak belajarnya. Beliau menyebutkan bahwasanya beliau mempelajari sebuah kitab sebanyak seribu kali sampai di suatu hari ayahku berkata kepadaku, “Apa yang terjadi pada dirimu? Kamu tidak mengetahui suatu kerajinan? Kamu hanya sibuk dengan ilmu agama, sedangkan tak ada sesuatu apapun di sisimu”.".

Besarnya semangat yang dimiliki Ibnu Tabban patutlah diteladani oleh penuntut ilmu dan dalam mengumpulkan semangat Rasulullah -shallallallahu 'alihi wa sallam- bersabda :
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ
"Bersemangatlah pada apa Yang bermanfaat bagimu Dan mintalah pertolongan kepada Allah Dan janganlah kamu merasa lemah". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 2664)]

Dari balik hadits ini, dapat disimpulkan bahwa seseorang –insya Allah- akan dapat mengumpulkan semangatnya dalam menuntut ilmu dengan memperhatikan tiga perkara :
1.   Menghadirkan tekad untuk meraih sesuatu yang bermanfaat.                                                        Ilmu agama merupakan sesuatu yang  bermanfaat, bahkan yang paling bermanfaat bagi hamba, baik di dunia, maupun diakhirat.

Sebab, ilmu agama akan melahirkan keimanan dan amalan sholeh yang menjadi modal utamanya dalam menggapai kebahagiaan di sisi Allah.

Siapa pun yang diberitahu taufiq untuk menuntut ilmu agama, maka hendaklah ia bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk melakukannya.

2.   Memohon pertolongan kepada Allah -subhanahu wa ta'ala-.                                           Seorang hamba harus menyadari bahwa dia itu lemah dan tidak ada yang dapat menolongnya, kecuali Allah.

Ia harus selalu memohon kepada-Nya dalam seluruh urusan, baik yang terkait dengan dunia, ataupun akhiratnya, termasuk dalam menuntut ilmu.

Lantaran itu, seorang penuntut ilmu senantiasa berdoa kepada Allah –azza wa jalla- dan banyak menghafalkan doa –doa yang menguatkan dirinya agar selalu di atas ilmu dan kebaikan.

Di antara doa-doa itu, apa yang pernah diajarkan nabi -shallallahu 'alaihi Wa sallam- agar tidak meninggalkannya di setiap penghujung shalat, yaitu,                                                                                                                                                                                                        
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepadamu, bersyukur kepadamu, dan baiknya ibadah kepadamu".
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (no. 22119), Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1522), dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (no. 1303)]

3.   Tidak membiarkan  semangat dalam mencapai sesuatu yang bermanfaat tadi melemah.                                                 

Seseorang harus memiliki azam (tekad) yang kuat dalam meraih sesuatu. Karenanya, seorang penuntut ilmu harus selalu menjaga dan memperbaharui semangatnya.                                                                                     

Hendaknya semangat ini diikuti dengan menempuh sebab dengan sungguh-sungguh agar menyampaikan kepada tujuan.

Imam Al-Junaidi -rahimahullah- berkata,
«مَا طَلَبَ أَحَدٌ شَيْئًا بِجِدٍّ وَصِدْقٍ إِلَّا نَالَهُ فَإِنْ لَمْ يَنَلْهُ كُلَّهُ نَالَ بَعْضَهُ»
"Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan kesungguhan dan kejujuran, kecuali dia akan mendapatkannya.
Kalaupun dia tidak mendapatkan seluruhhnya, maka pasti dia akan mendapatkan sebagiannya"
[Lihat Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rowi wa Adab As-Sami’ (no. 1544)]

Seusai membawakan nasihat Al-Junaid di atas, Al-Khothib Al-Baghdadiy rahimahullah- berkata dalam mengomentarinya,  
فَيَنْبَغِي لِلطَّالِبِ أَنْ يُخْلِصَ فِي الطَّلَبِ نِيَّتَهُ وَيُجَدِّدُ لِلصَّبْرِ عَلَيْهِ عَزِيمَتَهُ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ جَدِيرًا أَنْ يَنَالَ مِنْهُ بُغْيَتَهُ
“Karena itu, sepantasnya bagi seorang pencari ilmu untuk mengikhlaskan niatnya dalam mencari ilmu dan memperbaharui tekadnya demi bersabar di atasnya. Jika ia melakukan hal itu, maka ia pantas untuk meraih cita-citanya lantaran hal itu.”
[Lihat Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rowi wa Adab As-Sami’ (2/179)]

Demikianlah yang dapat kami tuliskan, semoga apa yang kami tulis memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca. Wallahu ta'ala a'lam bish shawaab.

Komentar

Artikel Paling Populer