Waktu lebih Mahal baginya daripada Harta Karun yang Melimpah



[Kisah #12]

Waktu lebih Mahal baginya
daripada Harta Karun yang Melimpah

[Kisah Hidup Ibnu Aqil Al-Hambaliy]

Penulis:
Ummu A’isyah Shafiyyah Adibah Al- Bughisiyyah
-حفظها الله-


Alhamdulillah ‘segala puji bagi Allah’, Robb Penguasa alam semesta. Milik Allah segala apa yang ada di langit dan di bumi.

Dalam edisi kali, -insya Allah- kami akan menghadirkan kisah baru tentang salah seorang ulama yang terdahulu, yang dikenal dengan kesibukannya dalam membaca dan mengasah ilmu di setiap waktu, tanpa melewatkannya sedikitpun.

Waktu baginya lebih mahal daripada harta seorang hartawan kaya raya yang bernama “Qorun” (baca : Karun) yang pernah hidup di zaman Musa dan Fir’aun.

Para pembaca yang budiman, bercerita tentang kisah itu sendiri adalah salah satu peneguh dan penguat hati orang-orang mukmin.

Allah -azza wa jalla- berfirman,
{وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ} [هود: 120]
“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah-kisah itu, Kami teguhkan hatimu”. (Q.S.Hud: 120)

Al-Imam Abu Hanifah Al-Kufiy –rahimahullah- berkata,
قَصَصُ الْقَوْمِ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْفِقْهِ
“Kisah tentang para ulama dan kebaikan-kebaikan mereka lebih aku sukai dari pada banyaknya masalah fiqih”. [Lihat Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlih (1/509)]

Demikian yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah Al-Kufiy –rahimahullah-. Sebab, kisah banyak mengandung tata aturan hidup dan pelajaran bagi generasi setelahnya, serta teladan yang baik.

Di dalam kisah orang-orang sholih, terkhusus para nabi dan rasul, terdapat banyak pelajaran, hikmah dan petunjuk hidup yang amat berharga. Dengannya, kehidupan manusia akan terarah dalam kebaikan dan terisi hal-hal yang berguna bagi dunia dan akhirat mereka.

Selain itu, di dalamnya terdapat semangat dan motivasi. Sebab, ternyata kehidupan yang kita tidaklah beda dengan yang mereka lalui.

Jika kita diuji dengan suatu nikmat, maka mereka pun demikian dan mereka telah memberikan contoh dan teladan terbaik dalam bersyukur terhadap nikmat Allah.

Sebaliknya, di dalam kisah mereka terselip cerita sengsara yang diderita oleh kaum yang durhaka nan durjana, kaum yang tidak pandai bersyukur.

Bila kita diperhadapkan dengan sesulit apapun, maka kesusahan yang lebih sulit telah dijalani dan dihadapi dengan kesabaran oleh para nabi dan pengikut mereka.

Allah berfirman –Azza wa jalla- di dalam Kitab-Nya,
{أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ} [الأنعام: 90]
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (Q.S. Al-An’am : 90)

Al-Imam Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy –rahimahullah- berkata,
"وَإِذَا كَانَ هَذَا أَمْرًا لِلرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأُمَّتُهُ تَبَعٌ لَهُ فِيمَا يُشَرِّعُهُ لَهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ بِهِ."
“Jika hal ini (mengikuti petunjuk para nabi) adalah perintah bagi Rasul –shollallohu alaihi wa sallam-, maka umatnya mengikut kepada beliau dalam perkara yang Allah syariatkan bagi mereka dan Dia perintahkan mereka dengannya.” [Lihat Tafsir Ibni Katsir (3/299)]

Para pembaca –rahimakumullah-, kisah yang ada di hadapan anda ini, memang sangat istimewa. Karena, ia menyangkut tentang kehidupan ulama bersama kitab-kitab.

Di dalamnya tergambar tentang begitu besarnya perhatian, semangat dan kesungguhan mereka terhadap kitab-kitab ilmu, dimana kitab-kitab itu selalu menemani mereka di setiap waktu dan mereka berada dalam kondisi yang mengagumkan.

Ilmu yang terselip pada setiap lembaran kitab yang mereka baca, laksana bidadari yang cantik dan kecantikannya mengalahkan indahnya matahari dan rembulan.

Al-Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata,
"وَلَوْ صُوِّرَ الْعِلْمُ صُوْرَةً، لَكَانَتْ أَجْمَلَ مِنْ صُوْرَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ." اهـ من رَوْضَةِ الْمُحِبِّيْنَ وَنُزْهَةِ الْمُشْتَاقِيْنَ (ص: 201)
“Seandainya ilmu itu bisa digambarkan dengan suatu rupa, tentulah dia lebih indah rupanya daripada rupa matahari dan rembulan.”
[Lihat Roudhoh Al-Muhibbin wa nuzhah Al-Musytaqin (hlm. 201)]

Para pembaca yang budiman, tiba saatnya kami akan menukilkan sebuah kisah menarik dari kehidupan salah seorang ulama yang cerdas dan amat menjaga waktunya serta kesibukannya dalam membaca dan mengasah ilmu.

Beliau adalah Abul Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Hambaliy –rahimahullah- (lahir 432 H dan wafat 513 H ).

Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin ‘Aqil bin Muhammad bin Aqil bin Abdillah Al-Bagdadiy Azh-Zhofariy Al-Hambaliy. Biasa disapa dengan “Abul Wafa’”. [Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (19/443)]

Ibnu ‘Aqil Al-Hambaliy –rahimahullah- termasuk salah satu ulama utama, dan manusia yang sangat cerdas, serta memiliki wawasan yang amat luas dalam berbagai cabang ilmu. Ia juga tidak pernah menyia-nyiakan sesaat pun dari umurnya.

Diceritakan kisahnya oleh Ibnu Rajab Al-Hambaliy dalam Adz-Dzail ‘Ala Thabaqat Al-Hanabilah (1/145-146), saat menyebutkan sepintas biografi Ibnu Aqil Al-Hanbaliy yang bersumber dari Ibnu Jauzi –rahimahullah- bahwa dia berkata,
"وجمع علم الفروع والأصول وصنَّف فيها الكتب الكبار. وكان دائم التشاغل بالعلم، حتى أني رأيتُ بخطه: إني لا يحل لي أن أضيع ساعة من عُمري، حتى إذا تعطَّل لساني عن مذاكرة ومناظرة، وبصري عن مطالعةٍ، أعملتُ فكري في حال راحتي، وأنا مستطرح، فلا أنهض إلاَّ وقد خطر لي ما أسطره. وإني لأجدُ من حرصي على العلم. وأنا في عشر الثمانين أشد مما كنت أجدُه وأنا ابن عشرين سنة." اهـ من ذيل طبقات الحنابلة (1/ 324) لابن رجب
“Ibnu ‘Aqil telah menghimpun ilmu furu’ dan ushul, serta menulis di dalamnya kitab-kitab yang tebal.
Ibnu ‘Aqil selalu menyibukkan diri dengan ilmu, sampai aku pernah melihat tulisannya berbunyi,
“Tidak selayaknya aku menyia-nyiakan usiaku meski sesaat. Oleh karena itu, apabila lisanku telah lelah dari mengulang-ulang hafalan atau berdiskusi, dan kedua mataku lelah dari membaca (menelaah) serta telingaku berhenti untuk menyimak, maka aku memaksimalkan fungsi otakku ketika beristirahat.
Tidaklah aku bangkit dari tempatku hingga terpikir atau terbetik dalam benakku sebuah perkara yang akan aku tulis.
Sungguh aku mendapatkan semangatku berapi-api terhadap ilmu dalam usia 70-80 tahun. Sungguh, apabila usia 80 tahun ini ambisiku (semangatku) terhadap ilmu lebih besar daripada saat usia 20 tahun.”

Semangat Ibnu ‘Aqil dalam memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam belajar dan mengkaji kitab-kitab amat luar biasa dan tiada tandingannya.

Ibnu ‘Aqil –rahimahullah- berkata dalam menceritakan tentang dirinya,
"أنا أقصرُ بغاية جهدي أوقات أكلي، حتى أختار سف الكعك وتحسيه بالماء على الخبزة لأجل ما بينهما من تفاوت المضغ، توفرا على مطالعة، أو تسطير فائدة، لم أدركها فيه." اهـ من ذيل طبقات الحنابلة (1/ 325)
“Aku berusaha membatasi seminimal mungkin waktu makanku, sampai aku memilih menelan kue dan menghirupnya bersama air (agar mudah dicerna dan dikunyah) daripada harus memakan roti biasa, karena jarak antara keduanya (cukup memakan waktu). Hal itu kulakukan agar waktu membacaku lebih banyak, menulis ilmu yang belum pernah aku jangkau (sebelumnya).”
[Lihat Dzail Thobaqot Al-Hanabilah (1/325)]

Waktu yang begitu berharga bagi beliau, tidak pernah terlewatkan dalam perkara yang biasa. Tidak heran jika di kemudian hari beliau mampu menulis sebuah kitab yang terbanyak di dunia dalam sepanjang sejarah manusia. Kitab itu berjudul “Al-Funun”.

Al-Hafizh Abu Abdillah Adz-Dzahabiy –rahimahullah- berkata,
"لَهُ كتاب "الفنون" لم يصنَّف في الدُّنيا أكبر منه، حدَّثني مَنْ رَأَى منه المجلَّد الفُلانيّ بعد الأربع مائة يحكي فيه بحوثًا شريفة ومناظرات وتواريخ ونوادر، وما قد وقع له."  اهـ من تاريخ الإسلام ت بشار (11/ 204)
“Beliau memiliki kitab “Al-Funun”; belum pernah ditulis sebuah kitab di dunia yang lebih besar (banyak) dibandingkan kitab itu.
Telah menceritakan kepadaku orang yang pernah melihat jilid tertentu setelah 400 jilid. Ia menceritakan di dalamnya terdapat pembahasan-pembahasan indah, diskusi, sejarah, hal-hal yang istimewa, dan hal-hal yang sungguh telah terjadi pada beliau.”
[Lihat Tarikh Al-Islam (11/204), karya Adz-Dzahabiy]

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy rahimahullah- berkata,
"وأخبرني أَبُو حفص عمر بن علي القزويني ببغداد، قَالَ: سمعتُ بعض مشايخنا يقول: هو ثمانمائة مجلدة." اهـ من ذيل طبقات الحنابلة (1/ 345)
“Telah mengabarkan kepadaku Abu Hafsh Umar bin Ali Al-Qozwiniy di Kota Baghdad, ia berkata,
“Aku mendengarkan sebagian guru-guruku berkata,
“Dia (Kitab Al-Funun) adalah 800 jilid.”
[Lihat Dzail Thobaqot Al-Hanabilah (1/345)]

Di kala anda mendengarkan bahwa Ibnu ‘Aqil telah menulis kitab sejumlah 800 jilid, jangan anda mengira bahwa hasil karya beliau hanya satu kitab saja, bahkan beliau juga memiliki kitab-kitab lain.

Ibnu Rajab menambahkan,
وله في الفقه كتاب " الفصول "، ويُسمى " كفاية المفتي " في عشر مجلدات، كتاب " عمدة الأدلة "، كتاب " المفردات "، كتاب " المجالس النظريات "، كتاب " التذكرة " مجلد، كتابُ " الإشارة " مجلد لطيف، وهو مختصر كتاب " الروايتين والوجهين "، كتاب " المنثور ".
وفي الأصلين كتاب " الإرشاد في أصول الدين "، وكتاب " الواضح في أصول الفقه "، و " الانتصار لأهل الحديث ". اهـ من ذيل طبقات الحنابلة (1/ 345)

“Ibnu ‘Aqil memiliki :
kitab “Al-Fushul” dalam fiqih, dan dinamai dengan “Kifayah Al-Mufti” sebanyak 10 jilid,
kitab “Umdah Al-Adillah”,
kitab “Al-Mufrodat”,
kitab “Al-Majalis An-Nazhoriyyat”,
kitab “At-Tadzkiroh” dalam satu jilid,
kitab “Al-Isyaroh” dalam satu jilid tipis, dan ia merupakan ringkasan
kitab “Ar-Riwayatain wa Al-Wajhain”,
kitab “Al-Mantsur”.
Di dalam dua ushul :
kitab “Al-Irsyad fi Ushul Ad-Din”,
kitab “Al-Wadhih fi Ushul AL-Fiqh,
dan “Al-Intishor li Ahlil Hadits.”
[Lihat Dzail Thobaqot Al-Hanabilah (1/345)]

Mungkin ada di antara kita bertanya di dalam benaknya,
“Dari mana semangat membara pada diri Ibnu ‘Aqil dalam memanfaatkan waktunya demi meraih ilmu sebanyak-banyaknya?”

Jawabannya terdapat dalam penuturan Ibnu Aqil sendiri,
"عصمنِي اللهُ فِي شبَابِي بِأَنْوَاعٍ مِنَ العِصْمَة، وَقَصَرَ مَحَبَّتِي عَلَى العِلْم، وَمَا خَالطتُ لَعَّاباً قَطُّ، وَلاَ عَاشرتُ إِلاَّ أَمثَالِي مِنْ طَلبَةِ العِلْم، وَأَنَا فِي عَشْرِ الثَّمَانِيْنَ أَجِدُ مِنَ الحِرْصِ عَلَى العِلْم أَشدّ مِمَّا كُنْتُ أَجده وَأَنَا ابْنُ عِشْرِيْنَ، وَبلغتُ لاِثْنَتَيْ عَشْرَة سَنَةً، وَأَنَا اليَوْمَ لاَ أَرَى نَقصاً فِي الخَاطر وَالفِكرِ وَالحِفْظ، وَحدَّةِ النَّظَر بِالعين لرُؤْيَة الأَهلَةِ الخفِيَة إِلاَّ أَنَّ القوَّة ضَعِيْفَة." اهـ من سير أعلام النبلاء ط الرسالة (19/ 446)
"Allah telah menjagaku di masa mudaku dengan berbagai penjagaan dan membatasi cintaku hanya pada ilmu agama. Aku tidak pernah bergaul sama sekali dengan orang yang suka bermain, dan tidaklah aku menemani, selain orang-orang yang semisal diriku dari kalangan para pencari ilmu. Aku di usia 70-80 tahun mendapati semangatku terhadap ilmu melebihi apa yang telah rasakan, sedang waktu itu aku berusia 20 tahun.
Aku telah mencapai usia 12 tahun, sedang hari ini (di usia 70-80) aku tidak melihat ada kekurangan dalam jiwa, pikiran, dan hafalanku, serta ketajaman pandangan mataku terhadap bulan sabit yang samar, hanya saja kekuatan (mulai) melemah." 
[Lihat Siyar A'lam AN-Nubala' (19/446)]

Faedah dari Kisah Hidup Ibnu ‘Aqil Al-Hambaliy

Dari kisah inilah, kita dapat mengambil faedah darinya :
1.   Hendaknya kita (terkhusus lagi para pencari ilmu) senantiasa menjaga waktu di setiap saat dalam hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat, seperti mengulang-ulang pelajaran, berdiskusi maupun menelaah buku atau kitab, dan tidak melewatkannya sedikitpun.

2.   Hendaknya mempercepat waktu makan dan mengisi waktu kita dalam hal yang bermanfaat, karena sebaik-baik aktifitas untuk mengisi waktu dan mendekatkan diri kepada Allah adalah menuntut ilmu, entah belajar atau mengajarkan ilmu.

3.   Dengan menuntut ilmu, seseorang dapat mengeluarkan seseorang dari gelapnya kebodohan menuju cahanya ilmu syariat. Sedang menuntut ilmu membutuhkan waktu dan kesabaran. Tanpa hal itu, tentu kita akan mengalami kegagalan dalam meraup ilmu yang berlimpah.

4.   Dalam kisah ini pun kita telah menyaksikan, bahwa fase mencari ilmu adalah fase yang sangat sulit dan berat. Terkadang simpul-simpul kesabaran akan terputus sebelum meraihnya, dan tekad baja manusia akan pecah di hadapannya. Yang berhasil melewatinya hanyalah orang-orang besar lagi berjiwa pahlawan, dari kalangan penggila ilmu, yang dapat merasakan kelezatannya dan bertekad bulat meraihnya, walaupun demi hal itu ia harus menghadapi berbagi rintangan.

Namun untuk melalui rintangan itu, tentunya harus melalui berbagai kesulitan dan penderitaan dengan berbekal kesabaran dan keikhlasan dalam mencari pahala dan keutamaan.

Al-Imam Yahya bin Abi Katsir Al-Yamamiy –rahimullah- berkata,
«لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ»
“Ilmu tidak mampu diraih dengan kesantaian jasad.”
Hadits Riwayat Imam Muslim dalam Shohih-nya (no. 621).

Para pembaca –rahimakumullah-, terakhir kami ingin berpesan, jadikanlah prinpsip hidupmu untuk senantiasa bertanya kepada dirimu sendiri,
“Apa yang telah aku perbuat dalam waktu luangku? Sudahkah aku memanfaatkannya untuk kemaslahatan akhiratku?”

Perhatikan pula, apakah waktu luangmu telah tunduk kepada kemauan akal sehatmu?

Engkau memiliki tujuan yang terpuji dan amat tinggi di akhirat, maka apakah engaku telah menghabiskan waktumu untuk meraihnya?

Sementara itu, tidak jalan terbaik untuk mencapai kebahagiaan akhirat, melainkan dengan jalan ilmu yang harus kita raih dengan penuh keikhlasan, semangat, dan sabar dalam mencapainya.

Semoga Allah memberikan pertolongan dan taufik-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat menjaga waktu dan mengisinya dengan amal sholih dan ilmu yang bermanfaat.

Semoga Dia menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang mengetahui betapa berharganya nilai waktu dalam kehidupan ini, sehingga kita tidak termasuk golongan yang menzholimi diri sendiri, dengan menyia-nyiakan waktu dalam perkara sia-sia atau hal-hal dibenci oleh Allah –azza wa jalla-, aamin. Wallohu ‘Alam bis showab .




* * * * * * * * * *
NB :

1.  Penulis adalah santri Tahfizh Ma’had Al-Ihsan Gowa.

2.  Tulisan ini telah diedit dan disempurnakan oleh Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. -hafizhahullah- selaku pembimbing dalam ajang latihan pengembangan bakat menulis bagi para santri.

Komentar

Artikel Paling Populer