Kesatria Hebat dari Madinah, Mu’adz bin ‘Amr Al-Jamuh -radhiyallahu anhu-
Kesatria Hebat dari Madinah,
Mu’adz bin ‘Amr Al-Jamuh
-radhiyallahu anhu-
Ketika Mu’adz bin
‘Amr Al-Jamuh bersama dengan beberapa anak-anak usia sebayanya sedang
keluar masuk di antara sumber air, rerimbunan dan tetumbuhan hijau, tiba-tiba ia
menyaksikan seseorang dai muda dari kota Makkah, Mush’ab bin umair.
Dengan begitu lembut
lagi ramah, pemuda dari Makkah itu
memberi salam penghormatan kepada mereka. Dengan penuh rasa cinta dan kasih ia
mengajak mereka berbicara.
“Tidakkah kalian
mau untuk duduk bersamaku barang sesaat ini saja? Aku akan menyampaikan
beberapa hal yang kuketahui kepada kalian jika kalian senang dengan apa yang
kalian dengar, maka aku akan melanjutkannya.
Namun, jika
malah menggelisahkan kalian, maka aku akan berhenti,” kata Mush’ab.
Para pemuda yang baru
memasuki usia mudanya itu saling memandang satu sama lain. Mereka saling
memandang dengan pandangan-pandangan penuh dengan keridhaan,penerimaan dan
ketenangan. Kata mereka, “Tentu, kami mau.”
Kemudian para pemuda
itu berkumpul di sekitar Mush’ab bin ‘Umair seperti terkumpulnya biji
manik-manik dalam sebuah kalung dengan begitu rapinya di sekitar leher yang
bersinar. Dengan wajah berseri juga disertai wajah yang begitu ramah dan akrab,
Mush’ab memandangi mereka.
Ia segera mengajak
mereka berbicara dengan penjelasannya yang begitu segar dan bercahaya.
Berbagai keistimewaan ISLAM disampaikan kepada mereka. Mush’ab menghiasi manisnya
keimanan ke dalam hati-hati mereka.
Lalu menambahkan
kebencian terhadap kekufuran dan pemyembahan
serta peribadatan kepada berhala-berhala.
Begitu penjelasan
Mush’ab selesai, wajah Mu’adz bin ‘Amr bin Al-Jamuh langsung penuh dengan
cahaya keimanan. Kemudian ia memandang ke arah Mush’ab sambil berkata,
“Apa yang
harus aku lakukan bila aku ingin masuk ke dalam agama ini?”
Mush’ab menjawab,
“Engkau
mendatangi sumur ini dan bersuci dengan airnya.
Kemudian
engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak selain Allah saja, tidak ada
sekutu bagi-NYA serta penutup para nabi-NYA.
Setelah itu
engkau hadapkan wajahmu kepada dzat yang menciptakan langit dan bumi. Engkau
engkau menunaikan sholat dua rakaat.”
“Seakan-akan awal mula
agama ini adalah kesucian badan dengan berwudhu kemudian berakhir dengan
kesucian ruh dan jiwa dengan menunaikan sholat,” Komentar Mu’adz.
Sengurat senyum
tersipul pada diri Mush’ab bin
‘umair.Senyum kagum lagi takjub atasnya.
“Betapa
cepat sekali engkau dapat memahami ,wahai Mu’adz!’ Puji Mush’ab.
Datanglah Mu’adz ke
sumur itu lalu bersuci. Dua kalimat syahadat terucap darinya.kemudian ia
mengerjakan sholat dua rakaat.
Begitu melihat
keislaman Mu’adz, maka kedua saudaranya Mu’awwadz dan Khallad langsung masuk ke
dalam ISLAM. Keduanya melakukan apa yang dilakukan Mu’adz . Akhirnya, dua orang
itu bersama saudaranya masuk ke dalam agama Allah.
Saat itu, ayah Mu’adz
yang bernama ‘Amr bin Al-Jamuh adalah seorang yang begitu tua, sudah berumur.
Ia memiliki sebuah
berhala yang bernama Manat. Berhala itu dibuat dari sebatang kayu yang mahal
harganya. Kemudian ia menyempurnakan berhala itu dengan begitu indah dan
bagusnya.
Ia sangat berlebihan
dengan berhala itu layaknya orang-orang terhormat lainnya.
Ia telah berikrar dan
bernazar untuk senantiasa berkhidmat terhadap berhala tersebut.
Sang ayah selalu
mendatangi sang berhala pada setiap pagi dan sore hari.
Tidak bosan-bosannya ia
melumurinya dengan minyak wangi terbaik.
Dia senantiasa
menghaturkan berbagai persembahan dan korban terbaik kepadanya.
Mu’adz berpikir bahwa
tidak ada acara lain agar sang ayah bisa masuk ke dalam Islam selain dengan
menghilangkan berhala itu dari kehidupannya.
Mu’adz mengetahui bahwa
ayahnya yang sudah tua itu tidak akan kuat mendengar cercaan dan makian yang
ditujukan kepada sang behala, sehingga menjadi suatu hal yang mustahil bila ia
meninggalkan berhala itu setelah sekian
lama ia bersama sang berhala hanya celaan orang yang mencela atau bantahan
orang yang membantah.
Akhirnya, ia berazam
dan bertekad untuk menempuh cara lain selain cara yang mematikan. Tidak lain
dengan meminta bantuan dari saudara-saudaranya dan teman sebayanya.
Pada suatu malam, Mu’adz
beserta saudaranya dengan ditemani teman-temannya pemuda sebayanya dari Bani
Salimah mendatangi berhala tersebut. Dengan mengendap, mereka mengambil berhala
tersebut dari tempatnya.
Mereka lalu membawa
berhala tersebut ke sebuah parit di belakang perumahan. Setelah itu dilemparkan
kotoran-kotoran kepadanya.
Mereka mencampakkannya
ke dalam lubang tanah yang paling dalam. Kemudian mereka kembali pulang dengan
jalan yang sama.
Setelah itu, mereka
semua tidur terlelap bersama orang-orang lain seolah-olah tidak terjadi
apa-apa.
Keesokan harinya, orang
tua itu (yaitu, ‘Amr bin Al-Jamuh) seperti biasanya pergi menghadap berhala
tersebut. Namun, ternyata ia tidak dapat menemukannya.
Seketika itu, ‘Amr bin Al-Jamuh
naik pitam. Kemarahannya menyala-nyala. Ia mulai mencari berhala itu di setiap
sudut tempat hingga akhirnya ia menemukannya telah tersungkur dan tertelungkup
ke dalam selokan.
Ia segera mengambil
berhala tersebut dan memandikannya dengan air yang bersih dan melumurkan minyak
wangi termahal ke berhala tersebut. Kemudian ia mengembalikannya ke tempat
semula.
Mu’adz dan
kawan-kawannya melancarkan aksinya kembali terhadap berhala itu hingga dua atau
tiga kali. Demikian pula dengan ‘Amr bin Al-Jamuh dengan tekunnya ia kembali
mengambil berhala itu dari parit, lalu memandikannya dan melumurinya dengan
minyak wangi.
Ketika malam keempat, rasa
bosan dan jemu menghinggapi diri ‘Amr bin Al-Jamuh. Sebelum tidur, ia mendatangi
berhala tersebut. Ia mengambil pedang yang sudah terhunus dan mengalungkannya
pada leher berhala. Ia berkata kepada berhalanya,
“Wahai Manat, jika
engkau benar-benar tuhan, maka belahlah dirimu dari orang-orang yang bebuat
melampaui batas kepadamu dan berbuat jelek kepadamu. Pedang ini bersamamu, maka
lakukanlah apa yang engkau sukai.”
Akan tetapi, keesokan
harinya berhala itu sudah tertelungkup dan tersungkur di selokan yang sama, bahkan sekarang ia
terikat dengan bangkai anjing.
Kali ini, sang ayah
(yaitu, ‘Amr) tidak sudi lagi mengeluarkan berhala itu dari selokan.
Ia meninggalkan dan
membiarkannya begitu saja. Justru kemudian ia bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Tidak lama setelah
keislaman Mu’adz bin ‘Amr, datanglah Rasulullah –shallallahu ke kota Madinah
untuk berhijrah.
Mu’adz dan saudara-saudaranya
segera menyambut beliau seperti seorang yang kehausan menemukan air yang begitu
segar.
Mereka sangat mencintai
beliau seperti kecintaan seorang ibu kepada anak semata wayangnya.
Kemudian mereka selalu
menemani beliau seperti seseorang kepada kekasihnya. Mereka pergi bersama
ketika beliau pergi.
Mereka kembali datang
ketika beliau datang. Mereka juga sholat di belakang beliau ketika waktu sudah
datang.
Mereka menghadiri
majelis nasihat dan petunjuk ketika beliau duduk bersama para sahabatnya untuk
memberi nasihat dan mengajarkan agama Allah kepada mereka.
Sampai akhirnya,
jadilah Mu’adz dan saudara-saudanya sebagai pemuda kesayangan Yatsrib, dan sebagai
kebahagiaan bagi islam dan pemeluknya.
Tak terasa hari-hari
para pemuda belia lagi patuh itu bergulir begitu cepat hingga akhirnya
meletuslah perang Badar yang begitu besar.
Dalam peperangan Mu’adz
dan saudaranya, Mu’awwadz memiliki sebuah peristiwa yang pantas untuk dikenang
dan begitu terkenal. Sebuah peristiwa yang tertulis dan terabadikan dalam lembaran
sejarah Islam yang diakui dengan huruf-huruf yang terbuat dari cahaya.
Lantaran itu, marilah
kita dengarkan bersama penuturan sahabat mulia ‘Abdurrahman bin auf dalam
membawkan kisah tersebut.
Kita dengarkan bersama
penggalan kisah tentang dua bersaudara itu.
Sesungguhnya ‘Abdur Rahman
bin Auf telah menyaksikan dari dua orang tersebut sebuah pristiwa yang
membuatnya begitu tercengang dan terkagum-kagum.
Kata ‘Abdurrahman bin
auf menuturkan hal itu,
“Ketika aku sedang
berdiri dalam barisan pasukan pada perang Badar, aku segera mengawasi
sekelilingku. Ternyata aku mendapati di sebelah kanan dan kiriku, ada dua orang
pemuda belia dari kalangan pemuda Anshar.
Salah seorang dari
keduanya memberi isyarat kepadaku dengan matanya.
Aku pun mendekatinya
sembari bertanya, “Apakah engkau memberi isyarat kepadaku dengan matamu, wahai
anakku?”
“Ya,” jawab singkat.
“Apa yang kamu
inginkan?”
“Apakah anda mengenal
dan mengetahui Abu Jahl, wahai paman.”
“Ya, aku mengenalnya.”
“Tunjukkan kepadaku
mana orangnya.”
“Apa yang engkau
inginkan darinya, wahai keponakanku?!”
“Aku diberitahu bahwa
ia telah memaki dan mencela Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-, serta
memerintahkan untuk membunuh beliau.
Demi Dzat Yang jiwaku
berada di tangan-NYA. Jika aku melihatnya maka aku benar-benar akan
menyerangnya. Kemudian aku terus menyerangnya hingga siapakah yang lebih duluan
ajalnya diantara kami.”
Aku pun memandang
pemuda itu dengan sesimpul senyum penuh kekagumman berpadu keheran-heranan.
“Memangnya siapa kamu?” tanyaku
“Aku adalah Mu’adz bim
‘Amr Al-Jamuh,” jawabnya.
Aku kembali meluruskan
diri ke dalam barisan. Pemuda lain segera mendekat kepadaku. Ia juga memberi
isyarat mata kepadaku.
Lalu kudekatkan mataku
ke arahnya. Ia juga mengatakan hal yang sama kepadaku.
“Siapa kamu?” tanyaku
kepadanya.
“Aku adalah Mu’awwadz
bin ‘Amr.”
“Lalu siapa yang
berdiri di sebalah kananku itu?”
“Dia itu saudaraku,
Mu’adz.”
Tidak ada yang
menggembirakan diriku ketika aku berdiri di antara dua pemuda siapapun ia,
selain Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- dibandingkan dua pemuda
bersauda itu.
Tidak lama kemudian aku
melihat Abu Jahl berjalan-jalan di antara pasukan Quraisy. Aku segera menoleh
kepada kedua pemuda itu seraya berkata, “Wahai keponakanku tidaklah kalian
melihat orang yang berjalan-jalan di antara
pasukan Quraisy itu?”
“Tentu.”
“Itulah orang yang
kalian cari-cari.”
Mu’adz menuturkan:
Begitu aku melihat Abu Jahl,
dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa segera menuju ke arahnya.
Sementara itu pasukan
musyrikin mengelilinginya seolah-olah dia sedang berada di tengah-tengah hutan
belantara pasukan.
Salah seorang pasukan
muslimin yang saat itu sedang menatapku,
“Hati-hatilah terhadap Abu
Jahl wahai anak muda untuk sampai kepadanya merupakan hal sulit bagimu.”
Demi Allah, tidaklah
ucapan orang itu mempengaruhiku, melainkan menembah keberanian dan tekadku.
Aku segera bergerak
cepat ke arahnya. Ketika posisiku sudah mapan, aku segera menyerangnya dan
menyabetnya dengan pedang. Sebetanku mengenai betisnya hingga menjadikannya
terjatuh ke tanah. Sementara itu, saudaraku Mu’awwadz mengikutiku.
Ketika sudah berada di atas
Abu Jahl, ia segera membantingkan pedangnya ke arahnya. Pedang segera ia
pergunakan.
Namun, tombak-tombak
pasukan musyrikin mampu melindungi Abu Jahl. Tombak-tombak itu mengarah
kepadanya dari segala arah hingga akhirnya, banyaknya luka menjadikan dirinya
begitu lemah dan payah. Akhirnya, Mu’awwadz terjatuh pada sisi badannya sebagai
syahid.
Sedangkan aku, maka
anaknya Abu Jahl (‘Ikrimah bin Abu Jahl) segera menyerang dua pundak dan bahuku
dengan pedangnya. Pedang itu berhasil melukai tangan kiriku dan bahu.
Akan tetapi, tanganku
tanganku tersambung dengan kulit di sisi perutku.
Aku terus melanjutkan
peperangan sepanjang siang, sementara tanganku yang sudah terluka parah itu, kuseret
di belakangku.
Ketika tangan itu
terasa sakit kurasakan, bahkan menghalangiku untuk melanjutkan peperangan, aku
meletakkan telapak tangan kiriku di atas tanah, lalu aku meletakkan kakiku di
atas tangan itu. Aku terus berusaha menariknya
sampai akhirnya tangan itu terlepas dari badanku. Aku segera melempar
tangan itu ke tanah.
Setelah kecamuk
peperangan berhenti, datanglah seseorang kepada Rasulullah –shallallahu alaihi
wa sallam- memberitahukan kabar gembira kematian Abu Jahl. Beliau bertanya
kepada orang tersebut,
“Allah Yang tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain-NYA. Apakah benar berita tersebut?”
Kemudian, Rasulullah
segera bertakbir, “Allahu akbar… Allahu akbar…
Segala puji
bagi Allah yang janji-Nya telah benar dam telah menolong hamba-Nya.”
Setelah itu, Mu’adz bin
‘Amr Al-Jamuh senantiasa membela dan mempertahankan Islam dengan satu tangannya
sepanjang masa hidup Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-. Demikian pula
pada dua masa sahabat beliau: Abu Bakar dan Umar bin Al-Khaththab.
Kemudian pada masa Khalifah
Dzun Nurain ‘Utsman bin ‘Affan, Mu’adz bin ‘Amr Al-Jamuh menyambut panggilan
Rabb-NYA dalam keadaan tangan kanannya
ikut bersamanya.
Sementara tangannya
yang lain ia berharap tangannya itu mendahuluinya ke dalam surga yang penuh
kenikmatan.
___________
Ditulis ulang oleh
Santri Kelas VI Pesantren Al-Ihsan Gowa
(Fadhilah bintu Abdil Qodir Abu Fa’izah –hafizhahumallah-) dari terjemahan kitab “Shuwar min Hayatish Shohabah”,
karya Dr. Abdur Rahman Ra’fat Basya –rahimahullah-, dengan sedikit pengeditan.
Komentar
Posting Komentar